MENU Sabtu, 25 Okt 2025

Pertaruhan gas Indonesia menimbulkan risiko bagi ekonomi, kesehatan, dan iklim

waktu baca 10 menit
Sabtu, 25 Okt 2025 14:40 0 1 slainanatsyasiregar

Pertaruhan gas Indonesia menimbulkan risiko bagi ekonomi, kesehatan, dan iklim

Liga335 daftar – 1 Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap atau PLTGU di Karawang, pembangkit listrik terintegrasi terbesar di Asia Tenggara. Gambar milik Pertamina.
Para ahli mengecam upaya keras Indonesia untuk mengembangkan gas alam, dengan mengatakan bahwa hal ini berisiko membuat Indonesia terjebak dalam ketergantungan bahan bakar fosil dengan kedok energi bersih, yang dapat menimbulkan kerugian besar bagi perekonomian, kesehatan masyarakat, dan lingkungan.

Dalam sebuah laporan terbaru, lembaga think tank yang berbasis di Jakarta, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan Greenpeace Indonesia mengidentifikasi kerugian yang signifikan dari ketergantungan ini, yang telah menyebabkan seperempat jaringan listrik nasional, atau 26 gigawatt, ditenagai oleh gas. Pemerintah baru-baru ini mengumumkan rencana untuk membangun 22 GW kapasitas listrik tenaga gas pada tahun 2040.
Namun, bahkan jika hanya proyek-proyek yang telah diumumkan dari armada baru tersebut, sebesar 2,6 GW, yang beroperasi, hal itu masih akan menghasilkan tambahan emisi tahunan sebesar 5,97 juta metrik ton karbon dioksida dan 5.

332 metrik ton metana, menurut laporan tersebut.
Ekspansi gas sebesar 22 GW secara penuh n akan meningkatkannya menjadi 49 juta metrik ton CO₂ dan hampir 44.000 metrik ton metana setiap tahunnya, kata laporan tersebut, sehingga penggunaan gas tidak sesuai dengan tujuan iklim Indonesia.

“Dibandingkan dengan energi terbarukan, yang dapat berkontribusi untuk mengurangi emisi karbon sebesar 30-40%, pembangkit listrik tenaga gas fosil justru dapat menghambat kemajuan untuk mencapai emisi nol bersih,” laporan tersebut mengatakan. Laporan tersebut menambahkan bahwa mengklasifikasikan gas sebagai “bahan bakar transisi” adalah “sangat menyesatkan, karena hal ini mengalihkan perhatian dari fokus utama untuk mengadopsi energi terbarukan yang selaras dengan komitmen iklim Paris.”
Pemerintah telah memuji gas sebagai sumber energi bersih yang dapat menjembatani transisi dari batu bara, yang menyumbang sebagian besar bauran energi Indonesia, dan energi terbarukan.

Pada tahun 2023, menteri energi menyebutnya sebagai “cara tercepat untuk mengurangi emisi dan biaya, dari pembangkit listrik berbahan bakar diesel ke pembangkit listrik berbahan bakar gas.”
Editor laporan Leonard Simanjuntak, direktur Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa hal ini merupakan sebuah langkah yang tidak masuk akal dari pemerintah. untuk berinvestasi dalam energi terbarukan.

“Karena sekarang hampir pasti kita tidak akan mencapai target 23% energi terbarukan tahun ini, pemerintah mengalihkan cerita dengan mengatakan bahwa gas harus menjadi energi transisi utama kita,” ujarnya dalam peluncuran laporan tersebut di Jakarta.
Foto udara dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap atau PLTGU Jawa-1 di Karawang, pembangkit listrik terintegrasi terbesar di Asia Tenggara. Gambar milik Pertamina.

Masalah biaya

Masalah utama yang diidentifikasi dalam laporan tersebut adalah biaya pembangunan infrastruktur gas. Diperkirakan bahwa membangun armada pembangkit listrik tenaga gas baru dapat menyebabkan kerugian bagi negara hingga 941 triliun rupiah ($57 miliar) pada tahun 2040. Sebaliknya, mengembangkan energi terbarukan yang dikelola masyarakat dapat menghasilkan keuntungan ekonomi hingga 2.

630 triliun rupiah ($ 159 miliar) pada periode yang sama, kata laporan tersebut.
Perluasan tenaga gas juga berisiko hilangnya hingga 6,7 juta pekerjaan, tambahnya, sebagian besar dari industri perikanan dan pesisir, di mana dampak dari pembangkit listrik tenaga gas baru – dari pengiriman, polusi dan pembebasan lahan – diperkirakan akan sangat terasa.
Energi terbarukan dapat menciptakan hingga 96 juta lapangan pekerjaan selama 25 tahun, berkat sifat padat karya mereka, ujar Bhima Yudhistira, direktur eksekutif CELIOS.

“Kami telah melihat bengkel-bengkel komunitas untuk turbin mikrohidro atau generator tenaga surya bermunculan di [daerah pedesaan], dan masyarakat setempat menjalankannya sendiri,” ujarnya saat peluncuran laporan tersebut. “Efek pengganda yang ditimbulkan sangat besar.”
Mengembangkan energi terbarukan skala komunitas yang terdesentralisasi memiliki manfaat utama lainnya dibandingkan dengan menambah jaringan listrik yang sudah melebihi kapasitas, ujarnya.

“Sebuah bisnis kecil mungkin hanya beroperasi sampai pukul 6 sore dengan listrik dari [jaringan] listrik,” ujarnya, “namun dengan tenaga surya atau mikrohidro, mereka dapat bekerja lebih lama. Produktivitas meningkat.”
Kemudian ada kebutuhan untuk mensubsidi gas agar lebih hemat dibandingkan dengan sumber energi lainnya.

Batu bara, bensin dan solar sudah sangat disubsidi, begitu juga dengan gas untuk rumah tangga dan komersial. Menambahkan gas untuk pembangkit listrik o urangnya dana yang tersedia untuk pengembangan energi terbarukan dan program-program belanja publik, serta meningkatnya utang pemerintah, kata laporan tersebut.
Laporan tersebut menambahkan bahwa rencana pemerintah untuk melengkapi pembangkit-pembangkit listrik tenaga gas yang baru dengan fasilitas-fasilitas penangkap dan penyimpan karbon (CCS) yang belum terbukti hanya akan membuat harga gas menjadi lebih mahal daripada energi terbarukan.

Foto udara dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap atau PLTGU Jawa-1 di Karawang, pembangkit listrik terintegrasi terbesar di Asia Tenggara. Gambar milik Pertamina.

Keanekaragaman hayati dan risiko kesehatan

Risiko lingkungan lain yang ditimbulkan oleh pembangkit listrik tenaga gas adalah terhadap keanekaragaman hayati dan masyarakat pesisir yang didukungnya, kata Bhima.
Di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang merupakan lokasi dari pembangkit listrik tenaga gas terbesar di Asia Tenggara, masyarakat nelayan mengeluhkan bahwa jalur penangkapan ikan mereka terganggu oleh lalu lintas kapal pengangkut gas alam cair dari dan ke kilang gas tersebut, ujarnya.
“Banyak juga yang merasa bahwa ekosistem terumbu karang rusak,” kata Bhima.

“Di lokasi lain yang sedang dikembangkan Seperti pembangkit listrik tenaga gas di Sumatera Utara, banyak yang berada di dekat kawasan konservasi bakau dan terumbu karang. Jadi dampaknya meluas hingga ke keanekaragaman hayati.”
Kemudian ada biaya kesehatan masyarakat yang timbul dari emisi nitrogen oksida (NOx), materi partikulat (PM) dan senyawa organik yang mudah menguap (VOC), yang dapat menyebabkan penyakit pernapasan, masalah kardiovaskular, dan kondisi kesehatan kronis lainnya pada masyarakat yang tinggal di dekat pembangkit listrik tenaga gas.

Beban kesehatan secara keseluruhan dari pembangkit listrik tenaga gas dapat merugikan negara hingga 250 triliun rupiah ($15 miliar) selama 15 tahun, menurut perkiraan laporan tersebut.
Biaya untuk mengobati penyakit-penyakit ini dapat membebani sistem asuransi kesehatan nasional, BPJS, dan tambahan 1.705 triliun rupiah ($103 miliar) jika pembangkit listrik tenaga gas berkapasitas 22 GW yang diusulkan dibangun, menurut laporan tersebut.

Dan bahkan jika hal tersebut tidak terjadi, sistem masih menghadapi potensi beban tambahan sebesar 250 triliun rupiah ($15 miliar) dibandingkan dengan skenario dasar tanpa pembangkit listrik tenaga gas baru, berkat adanya 26 GW pembangkit listrik tenaga gas. yang saat ini beroperasi.
Angka terakhir ini lebih besar dari seluruh anggaran Kementerian Kesehatan, dan hampir sama dengan anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk belanja infrastruktur tahun ini.

Laporan tersebut menandai hal ini sebagai “biaya tersembunyi” yang jarang dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan energi negara.
Foto udara dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap atau PLTGU Jawa-1 di Karawang, pembangkit listrik terintegrasi terbesar di Asia Tenggara. Gambar milik Pertamina.

Jebakan gas geopolitik

Selain dampak kesehatan, ekonomi dan lingkungan, laporan ini juga menyoroti dimensi geopolitik dari lintasan gas Indonesia.
Secara khusus, laporan ini memperingatkan bahwa Indonesia berisiko jatuh ke dalam ketergantungan pada Jepang, yang telah sangat mendukung rencana tersebut. Jepang adalah salah satu importir LNG terbesar di dunia, dan memiliki banyak teknologi gas terkemuka, tetapi tidak memiliki sumber daya.

Di situlah Indonesia berperan, kata Bhima.
“Jepang mendorong gas dengan keras karena mereka memiliki teknologinya dan menginginkan ladang-ladang gas untuk diekspor. Dinamika ini menguntungkan Jepang sebagai pemasok gas bagi Indonesia, membeli teknologinya, dan memiliki risiko ketergantungan jangka panjang,” katanya.

Jepang adalah pendukung utama Komunitas Nol Emisi Asia, sebuah inisiatif multilateral yang diluncurkannya pada tahun 2022 untuk membantu negara-negara di kawasan Indo-Pasifik mengurangi emisi gas rumah kaca mereka.
Namun, tidak seperti Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP) yang dipromosikan oleh negara-negara kaya di Barat, yang mengecualikan gas dari prioritas pendanaannya, AZEC mendukung definisi yang lebih longgar tentang energi bersih yang mencakup LNG dan tangkapan karbon.
Hal ini memungkinkan terjadinya ketidakkonsistenan kebijakan dalam strategi energi Indonesia, kata laporan tersebut.

Melalui AZEC, Jepang telah secara agresif memasarkan LNG dan pembangkit listrik tenaga gas sebagai pilihan rendah karbon untuk Asia Tenggara, membingkai mereka sebagai batu loncatan yang diperlukan dan bukannya sebagai sesuatu yang harus dihapuskan.
Itulah sebabnya mengapa Indonesia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam gas untuk kepentingan Jepang, tulis laporan tersebut. Dengan mengambil sumber gas dari negara-negara seperti Indo nesia, yang memiliki cadangan terbesar di kawasan ini, Jepang mendapatkan keuntungan dari energi tersebut namun menanggung biaya lingkungan di mana ekstraksi, pemrosesan dan pencairan terjadi, yang semuanya sangat mahal dari segi energi dan emisi, kata laporan tersebut.

Indonesia saat ini memiliki lima perjanjian dengan Jepang di bawah AZEC untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga gas.
Leonard mengatakan bahwa Jepang bukanlah negara yang menjadi juara iklim.
“[Sebaliknya] Jepang sering menghalangi kesepakatan iklim di COP,” rangkaian pertemuan tahunan PBB tentang iklim, katanya.

“Dorongan gas mereka sangat strategis, mereka ingin Indonesia mengembangkan gas bukan untuk penggunaan domestik, tetapi untuk diekspor kembali ke Jepang, bersama dengan pembelian teknologi. Dalam dinamika ini, Jepang selalu menang.”
Anak-anak bermain di dekat Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap atau PLTGU Jawa-1 di Karawang, pembangkit listrik terintegrasi terbesar di Asia Tenggara.

Gambar milik Walhi Jawa Barat.
Rekomendasi
Dengan berbagai risiko ini, laporan tersebut meminta pemerintah untuk membatalkan proyek-proyek gas baru dan mengalihkan proyek-proyek sub idies dan investasi untuk energi terbarukan.
“Saat ini ada tiga cadangan [gas] utama [di Indonesia] yang dijadwalkan untuk dikembangkan.

Mengeksploitasi cadangan-cadangan tersebut akan mengunci kita lebih jauh lagi dan menggagalkan target nol karbon,” ujar Leonard.
Potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan di Indonesia mencapai 432 GW, menurut laporan tersebut, jauh lebih tinggi daripada 22 GW gas yang direncanakan oleh pemerintah untuk dibangun. Bahkan peluncuran energi terbarukan yang moderat melalui tenaga surya dan angin dapat mengurangi emisi sebesar 9,2 juta metrik ton pada tahun 2030, demikian laporan tersebut mengatakan.

Laporan tersebut menambahkan bahwa pemerintah harus memprioritaskan energi terbarukan berbasis masyarakat, daripada proyek-proyek yang digerakkan oleh perusahaan, karena energi terbarukan menghasilkan PDB yang lebih tinggi, lapangan pekerjaan, manfaat kesehatan dan keuntungan fiskal, dengan volatilitas yang lebih rendah.

Pemerintah bersikap defensif

Para pejabat yang terlibat dalam transisi energi di Indonesia telah membela inklusi gas sebagai bagian penting dari bauran energi negara ini.
Putu Indy Gardian, seorang spesialis teknis di sekretariat JETP, sebuah badan multi-pemangku kepentingan yang mengkoordinasikan energi berkeadilan di Indonesia menyatakan skeptisisme terhadap energi terbarukan berbasis masyarakat, dengan mengutip kegagalan di masa lalu dalam proyek-proyek mikrohidro dan biomassa.
Ia mempertanyakan keandalan sistem desentralisasi dan menekankan beban keuangan yang akan ditanggung oleh perluasan infrastruktur transmisi dan distribusi oleh perusahaan listrik milik negara, PLN, terutama jika tidak ada pendanaan eksternal.

Di sisi lain, gas menawarkan keandalan jaringan dan daya yang dapat disalurkan (dispatchable power) yang belum dapat sepenuhnya disediakan oleh energi terbarukan yang bersifat intermiten seperti tenaga surya dan angin tanpa penyimpanan baterai yang mahal, ujar Putu.
Bhima dan Leonard membantah hal ini, dengan mengatakan bahwa ada risiko Indonesia akan kehabisan gas lebih cepat daripada yang diperkirakan jika melanjutkan rencana ekspansi gas. Meningkatnya permintaan gas domestik dapat menguras cadangan gas Indonesia, dan menjadikan Indonesia sebagai pengimpor gas netto pada tahun 2040, kata mereka.

Pada tahun 2050, impor dapat mencapai lebih dari 30% kebutuhan gas nasional.
“Jika kita menjadi importir gas netto, apa yang akan terjadi pada rupiah? Defisit impor minyak dan gas menekan mata uang.

Ketika perusahaan-perusahaan energi perlu membeli dolar AS dalam jumlah besar untuk impor, rupiah melemah,” kata Bhima.
Ada juga risiko bahwa hanya segelintir konglomerat besar yang akan mendapatkan keuntungan dari dorongan gas, dengan mengorbankan masyarakat. Risiko ini dapat dimitigasi dengan memprioritaskan energi terbarukan berbasis masyarakat, kata Leonard.

“Kami tidak ingin transisi ini didominasi lagi oleh konglomerat, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk inisiatif akar rumput yang tulus. Sejarah energi kita penuh dengan perburuan rente dan korupsi. Risiko tersebut tidak boleh terbawa ke dalam transisi energi,” ujarnya.

Leonard mengatakan bahwa keadilan energi yang sejati berarti beralih secara tegas dari semua bahan bakar fosil, termasuk gas, dan meningkatkan sistem energi terbarukan yang berpusat pada masyarakat yang mendistribusikan daya dan kesempatan.
“Ini harus menjadi transisi ambisius yang berfokus pada energi terbarukan,” ujarnya, “tidak ada gangguan dari gas atau pilihan keliru berbasis fosil lainnya.”
Artikel ini pertama kali diterbitkan di Mongabay di bawah lisensi Creative Commons BY NC ND.

Baca artikel aslinya.

slainanatsyasiregar

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA